Kategori

Foto Viral Fenomena Langit Berwarna Setelah Gempa, Ini Penjelasan Ilmiahnya

By On April 12, 2021



 Di media sosial, beredar foto yang memperlihatkan kondisi langit tertutup awan dan memancarkan warna pelangi, Sabtu (10/4/2021). Narasi yang dituliskan pengunggah, fenomena langit ini terjadi setelah gempa bumi.  Beberapa pengguna Twitter lainnya juga mengunggah foto yang sama, memperlihatkan awan dengan pancaran cahaya. Hingga Minggu (11/4/2021), foto tersebut telah dibagikan ulang sebanyak 62 kali dan disukai lebih dari 565 kali oleh pengguna Twitter lainnya. 

 Bagaimana penjelasan soal fenomena langit ini? Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, fenomena langit tersebut tidak ada hubungannya dengan kejadian gempa yang terjadi di Malang pada Sabtu kemarin. "Tidak ada hubungannya," ujar Daryono saat dihubungi Kompas.com, Minggu (11/4/2021). Menurut dia, fenomena pancaran sinar pada awan setelah gempa hanya kebetulan. Fenomena cloud irisdence Sementara itu, saat dihubungi secara terpisah, astronom amatir Indonesia, Marufin Sudibyo, mengatakan, fenomena langit berawan yang terlihat pada foto di atas dan memancarkan cahaya pelangi disebut sebagai fenomena atmosfer yang iritasi atau cloud irisdence. "Ini fenomena atmosfer murni akibat adanya sumber cahaya kuat (Matahari) dan penghalang awan yang bagian tepinya lebih tipis," ujar Marufin kepada Kompas.com, Minggu (11/4/2021). 

Ia mengatakan, cahaya tersebut muncul menilik jarak sudut antara warna-warna yang terlihat dengan posisi Matahari relatif kecil (kurang dari 45 derajat). Marufin menjelaskan, fenomena ini sama seperti ketika seseorang bermain gelembung sabun di tempat terang pada siang hari. Pada gelembung akan terlihat pendaran warna-warna pelangi yang disebabkan oleh difraksi cahaya Matahari oleh partikel-partikel nano yang menyusun lapisan tipis gelembung sabun. "Karena sinar Matahari merupakan gabungan warna pelangi, maka saat terdifraksi dia akan membentuk warna-warna pelangi juga. Bukan sebagai pola gelap dan terang," lanjut dia. Baca juga: Video Viral Seekor Biawak Memanjat Rak di Minimarket, Begini Ceritanya Terkait fenomena cloud irisdence yang terjadi pada Sabtu (10/4/2021) siang, Marufin mengatakan, hal itu terjadi saat cahaya Matahari terhalangi oleh awan-awan tinggi. Kemudian, di bagian tepinya cukup tipis dan disusun oleh butir-butir air atau kristal es mikro. Ketika itu, terjadi difraksi cahaya. Marufin menjelskan, saat cahaya produk difraksi diteruskan ke Bumi hingga mencapai mata pengamat, maka akan terlihat sebagai warna-warna pelangi

. Kemunculan warna pelangi, ditentukan dengan ukuran kristal es. "Jika butir-butir kristalnya lebih besar, maka yang akan terbentuk adalah fenomena halo (lingkaran cahaya)," ujar Marufin. Berbeda dengan pelangi api Perlu diketahui, kata Marufin, fenomena cloud irisdence berbeda dengan fenomena pelangi api. Ia menjelaskan, pelangi api bukan fenomena langit karena sejatinya pelangi api terjadi dalam atmosfer Bumi saja. "Pelangi api terjadi lewat mekanisme serupa dengan enomena Halo Matahari, yakni pembiasan cahaya Matahari oleh butir-butir es mikro berstruktur heksagonal lempeng yang ada di awan tinggi seperti Awan Cirrus," ujar Marufin. "Jadi proses pembentukannya mirip pelangi. Hanya saja pada pelangi, posisi Matahari ada di belakang kita sementara tetes-tetes hujan ada di depan kita," lanjut dia. 

Selanjutnya, berkas cahaya Matahari dibiaskan oleh tetes-tetes air hujan itu lalu dipantulkan sempurna sehingga arahnya berkebalikan dibanding arah datangnya cahaya Matahari. Proses itu membentuk busur cahaya setengah lingkaran yang dilengkapi komponen warna pelangi. Tidak ada faktor dari gempa Dari penjelasan tersebut, Marufin mengungkapkan, fenomena cloud irisdence tidak terjadi karena faktor gempa. Fenomena langit itu muncul pada siang hari dan adanya tebaran awan dengan pucuk tinggi seperti awan cumulus/altocumulus di area Jawa bagian tengah dan timur. "Kalau faktor ini tidak ada, barulah kita berpkir mungkin terkait dengan gempa. Karena faktor ini ada dan itu lebih sering terjadi, maka hubungan dengan gempa tidak bisa ditarik," ujar  Marufin.



sumber : kompas.com

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==