Kategori

Di Sebuah Ruang Kuliah Seorang Guru Bercerita

By On Desember 28, 2010

Oleh Benny Arnas

SEORANG lelaki 50 tahun-an yang baru kali ini wajahnya dilihat para mahasiswa memasuki sebuah ruang kuliah. Mengambil tempat duduk. Di kursi dosen.
Riuh. Masing-masing mahasiswa sibuk melakukan hal-hal yang tidak penting: menggunjing, menanyakan tugas-tugasan, sok mencari pena-buku di bawah kursi, memukul-mukul meja, menyentil telinga teman…. Riuh, riuh, riuh!
Lelaki tua—dengan kemeja kotak-kotak separuh lusuh—yang kini sudah berdiri di balik meja ajarnya, berdehem beberapa kali. Tidak mempan. Ruang kuliah masih riuh. Lelaki itu duduk. Takzim. Membuka-buka lembaran silabus perkuliahan yang dibawanya. Hanya membuka-buka. Tak ada aktivitas membaca dan meneliti frase-frase yang berbaris di sana. Ada gejolak tak biasa yang baru kali ini dirasainya. Oh, seperti inikah intelektual-intelektual muda berperilaku, tanyanya dalam hati. Miris.
Ajaib. Entah mengapa, kelas tiba-tiba saja hening. Lelaki itu mendongak. Ruang kuliah yang megah. Kursi plastik hijau muda ditata berundak-undak. O o, mata mahasiswa-mahasiswi itu memperhatikannya dengan tatapan menelisik, seakan-akan membahasakan sebuah kalimat: Cepatlah kau bicara, dosen kere!
Lelaki  itu segera menutup silabusnya yang masih menganga. Sigap ia berdiri. Berdehem dua kali dengan volume sedang. Ia mulai membuka kelas. Sedikit kikuk awalnya.

Lelaki itu memperkenalkan diri. Tak ada yang antusias mendengarnya. Tanggal lahirnya, tempat tinggalnya, bahkan ketika namanya disebut pun, para mahasiswa tiada berupaya memerhatikan apalagi mengingatnya.
Ia adalah seorang dari sebuah daerah yang berjarak ratusan meter dari kampus itu: Musirawas. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di UNSRI, Nak. Demikian bunyi kalimatnya sesaat setelah memperkenalkan diri. Kelas riuh lagi. Seperti biasa: menggunjing dengan setengah berbisik. Kali ini dengan materi yang jelas: lelaki kere akan mengajari mereka. Bagaimana bisaaa?! Ya, bagaimana bisa, bujang-gadis itu dipanggil ”Nak”. Hai Pak Tua, ini bukan SD kaleee!
Saya ke sini diundang dekan kalian untuk memberikan semacam pembekalan singkat tentang KKN, ujarnya dengan kesantunan suara yang sangat diatur.
Pembekalan, tanya mereka satu sama lain. Apatis.
Coaching kali, Pak…! Teriak mereka bersamaan.
Lelaki itu hanya tersenyum. Tapi hanya bibirnya, tidak dengan mata dan air mukanya. Wajahnya memerah.
Apa yang harus aku sampaikan pada orang-orang yang tampaknya lebih pandai dariku, hati kecilnya sangsi. Maka… lelaki itu memilih untuk bercerita saja. Dan para mahasiswa menyetetujuinya. Entahlah, bagaimana pula itu bisa.
Bercerita adalah ide dan cara menarik dalam pembelajaran. Tidak banyak yang tahu bahwa sejatinya mendengarkan cerita sama saja mengendurkan syaraf-syaraf yang tegang karena aktivitas berat dan serius. Entah, mahasiswa-mahasiswi itu memahami hal tersebut atau tidak, yang jelas mereka diam, menanti cerita yang baru saja akan dimulai. Ah, mungkin saja lelaki itu memang pandai bercerita hingga permulaannya saja sudah membuat para pendengarnya penasaran. Mungkin.
Ia memulai ceritanya. Kisah nyata dari sebuah SMA.
Hening.
Lelaki tersebut menyela pembukaannya dengan sebuah pertanyaan—mungkin juga meminta klarifikasi—tentang kebenaran bahwa tak satu pun dari mereka mengambil wilayah KKN di Muara Beliti.
Kami ke sana? Tak mungkinlah Ayahanda Guru. Itulah jawaban mereka. Jawaban yang ditangkap lelaki itu dari bahasa tubuh: bahu yang mengangkat, bibir yang menyeringai, mata yang menyipit sebelah, dan lidah yang berdecek di antara dua baris gigi yang berseberangan.
Lelaki itu tak mau memanjangkan tali kelambu. Maka, berceritalah ia.
* * *
SEBUT saja namanya Amran. Di sekolahnya yang baru: di sebuah kelas yang para siswanya terkenal sebagai biang keladi segala keributan, ia dipercaya menjadi walikelas dan mendapat julukan seperti guru yang bersikap tegas pada umumnya: guru killer!
Mahasiswa heboh. Killer yang macam mana nian itu, Pak?
Padahal disiplin adalah julukan yang paling tepat disematkan padanya. Setiap siswa yang ketahuan terlambat, jangan harap dapat mengikuti pembelajaran….
Asyik dunk! Sela mereka cengengesan.
Disiplin dan Killer itu kembaran, Pak! imbuh yang lain.
Hanya si pemakai istilah saja yang membedakannya! Entah siapa lagi yang menimpali.
Lelaki itu tersenyum. Kecut.
Kalau siswa akan menyebut mereka ’Killer’!
Tapi kalau guru…
Apalagi guru yang bersangkutan…
Pastilah memanggil dirinya dengan di-sip-lin!
Hahahaha…..
Lelaki itu diam. Tanpa ekspresi.
Mahasiswa pun diam. Diam yang berbahasa: Oi, lanjutkanlah ceritamu!
Lelaki itu melanjutkan: ketika ada yang tak mengerjakan tugas, pastilah disetrap. Macam-macam saja jenis setrapannya. Ada yang berdiri dengan sebelah kaki…
Dan kedua tangan memegang telinga! Pungkas seorang mahasiswa.
Ai cupu nian, Pak oi!! Hahahaha….
Lelaki itu tak menggubris ejekan mereka…
Ada yang disuruh pus-ap. Ada yang disuruh menyiram bunga. Ada yang disuruh membersihkan WC…
Yang paling sering, pasti bawain gurunya buah tangan!!! Sela seorang mahasiswa. Serta merta gelak tawa kembali membahana di ruang kuliah itu.
Lelaki itu menarik napas panjang sebelum memohon agar para mahasiswa tenang. Ajaib lagi. Para mahasiswa pun diam. Tentu saja, lagi-lagi, diam yang berbahasa: Ya Pak, lanjutkanlah. Kami berjanji tak akan menyelamu. Itung-itung refreshing juga mendengarkan celotehanmu!
O ya, karena Pak Amran mengajar di SMA swasta yang tergolong elit. Banyak anak-anak dari keluarga kaya yang bersekolah di sana. Sebagaimana lazimnya sekolah swasta—apalagi elit pula, biaya operasional sekolah sebagian besarnya dibebankan pada para siswa. Artinya, sumbangan dan iuran mendadak sangat sering ditarik. Pun, ketika Pak Amran memulai hari-harinya sebagai pendidik di sana, sumbangan-iuran masih marak saja.
* * *
SEJATINYA, Pak Guru Amran hanyalah seorang guru honor. Ia tidak hanya mengajar di SMA swasta tersebut, namun juga mengajar di beberapa sekolah lainnya. Dan… di sekolah-sekolah tersebut ia dikenal sebagai guru yang jujur dan disiplin.
Ia tak pernah membuka les apalagi menarik sejumlah uang dari siswanya demi kepentingan pribadi.
Tak elok itu. Tiada mulia-mulianya lagi guru yang maruk serupa itu, pendapatnya suatu waktu.
Ya, mana mungkin dia membuka les, apa yang mau diles-kan? Cuma pelajaran Sejarah, kok!? Celoteh beberapa guru terkait kejujuran dan tentu saja kritiknya terhadap maraknya les-les tambahan mata pelajaran Bahasa Inggris dan MIPA.
Pak Amran tiada menanggapi sindiran itu. Ia hanya tersenyum tipis sebelum berlalu….
Pak Amran juga tak pernah terlambat. Maka adalah hal yang mafhum apabila ia memarahi anak muridnya yang telat. Apalagi murid tersebut, tak terlalu jauh jarak rumahnya dengan sekolah. Apalagi murid tersebut biasa ke sekolah dengan angkot, sepeda motor atau bahkan mobil pribadi. Ya, mana mungkin mereka berani berdalih di hadapan seorang guru yang pergi ke sekolah dengan sebuah kendaraan roda dua yang sudah tua, kemerosok bunyi rantainya, lebih dari satu meter tingginya, namun masih gemerincing bunti klasonnya: sepeda unta!
Sayang, Pak Amran lupa bahwa SMA yang baru saja ia masuki beberapa hari itu adalah sebuah sekolah yang, sekali lagi, E-LI-TE! Ya, tiadalah rela, anak-anak manja dan kaya itu diatur-atur oleh seorang guru baru. Seorang guru yang tiada modis sedikitpun penampilannya: celana kain dan dua helai kemeja yang mereka hafal urutan kapan-kapan saja dipakainya. Seorang guru yang tiada mau mendengarkan pendapat mereka—yang rada-rada nyeleneh. Seorang guru yang kerap mengajar dengan mata jingga: Pasti abis begadang, menenggak tiga-empat botol Malaga setiap malamnya. Seorang guru yang usil: merampas HP—walaupun ketika pulang dikembalikannya lagi, rewel bila ikat pinggang tak melingkar ditempatnya, sering berteriak: Rio, masukkan bajumu!, dan sering bernasehat dalam cerita-cerita jadul.
* * *
SUDAH berulangkali para siswa kelas tersebut menyampaikan keluhan mereka kepada kepala sekolah dan pihak yayasan untuk memberhentikan guru kelahiran Megang Sakti tersebut. Tapi apa hendak dikata, kepsek dan dewan guru tidaklah buta. Hanya orang-orang tak waras saja yang berani berkoar bahwa Pak Amran adalah seorang guru yang tidak baik.
Maka, mereka hanya dapat menyampaikan apa-apa yang dikeluhkan para siswa kepada guru yang bersangkutan. Pak Amran bertenang saja. Dan, kepala sekolah—pun dengan guru-guru, tiada berniat menanyakan maksud dari sikap Pak Amran itu. Mereka tahu, lebih tepatnya yakin kalau Pak Arman benar. Ah, hanya menyampaikan keluhan anak-anak, Pak. Itu saja…
* * *
SUATU hari, antara iya dan tidak sebenarnya ia mengumumkan perihal—yang tiada disetujuinya—itu kepada murid-muridnya: Penarikan iuran pengadaan peralatan Ujian Nasional (UN). Sebenarnya bila dilibatkan dalam rapat guru, ingin sekali Pak Amran berpendapat, agar perihal remeh-temeh itu diserahkan pada anak-anak saja. Toh paling cuma alas lembar jawaban dari triplek, penghapus, mistar untuk melingkari jawaban, pensil 2B, dan pena untuk menandatangani absensi. Mustahil para siswa tak mampu menyiapkannya. Lagipula, kalau ditotalkan, harganya di bawah 40 ribu, kan? Bagaimana sekolah dapat menarik biaya 180 ribu per anak? Pak Amran benar-benar tak habis pikir. Tapi apa yang bisa ia perbuat di sekolah milik yayasan ini? Apa yang bisa ia perbuat ketika kepala sekolah menyarankannya untuk melaksanakan saja hasil keputusan rapat bila ia masih ingin mengajar.
Inilah saat-saat guru bisa panen, Pak. Demikian kata-kata kepala sekolah yang membuat dada Pak Amran perih. Di lain kesempatan, dengan air muka berseri-rincah, beberapa dewan guru mengingatinya untuk sesegera mempelajari soal-soal UN mata pelajaran Sejarah beberapa tahun belakangan ini.
Persiapan untuk cari kunci jawaban, biar anak-anak lulus dan kita dapat honor tambahan. Demikian ujar guru tersebut dengan lancar, polos, tanpa dihantui rasa bersalah!
Untuk masalah iuran, Pak Amran masih menolerir, namun untuk mencari jawaban soal-soal UN, tidak! Bila pun diharuskan, ia siap keluar. Maka, dengan setengah hati disampaikannyalah perihal penarikan iuran tersebut kepada para siswa yang menjadi tanggungjawabnya, remaja-remaji yang minta ampun bengalnya. Entah mengapa, tak seperti biasanya: cara anak-anak orang kayalah yang biasanya tak mempersoalkan uang sejumlah itu, tiba-tiba mereka riuh. Mereka emosi dan mencak-mencak marah. Tampaknya para siswa itu sudah lama memendam kekesalan.
Tapi… Pak Amran menyukai pemandangan itu. Mengapa baru sekarang kalian kritis anak-anakku, batinnya. Maka, ditenangkannyalah murid-murid itu. Ia berjanji akan menyampaikan keberatan mereka kepada kepala sekolah dan yayasan. Namun, dasar anak-anak bengal, mereka tiada menangkap keberpihakan Pak Amran pada mereka. Di belakang Pak Amran, mereka mencercanya sebagai guru yang tak bedanya dengan guru-guru yang lain: bersekongkol dengan kepala sekolah dan pihak yayasan untuk memoroti mereka.
Di hari berikutnya, kelas benar-benar gaduh. Beberapa pot bunga pecah. Gambar Garuda Pancasila, Presiden SBY dan Wakil Presiden Budiono pun sudah berserakan di lantai, bertindihan dengan beling-beling kaca bingkainya. Pak Amran muntab. Ia yang sejatinya ingin menyampaikan perihal keberatan pihak yayasan terhadap protes mereka kemarin pun berubah haluan. Maka setelah didapat informasi yang memadai tentang siapa dalang dan para pelakunya, dihukumnyalah para siswa tersebut.
Dan… Pak Amran lupa kalau sekolah ini tidak seperti sekolah-sekolah lain tempatnya mengajar. Ini sekolah elit! Mereka yang membayar guru-gurunya. Mereka yang membuat sekolah ini masih bertegak. Sekali lagi, ini sekolah elit. Tempat remaja borjuis dibajuseragamkan!!!
Lewat tengah siang itu, tak seperti biasanya, Pak Amran menuju sepeda tuanya dengan langkah gontai. Sebelah tangannya memegang sebuah amplop putih yang berkepala-suratkan lambang SMA elit tersebut.
* * *
MEREKA telah bersepakat.
Beberapa siswa—bahkan jumlahnya separuh dari jumlah total kelas, telah berhasil menghasut yang lain agar menekan Pak Amran untuk membatalkan iuran itu. Ah, mengapa iuran itu kini sangat diperkarakan. O tidak, bukan itu saja musababnya, Kawan. Mereka sejatinya telah lama memendam bara yang terbungkus oleh seragam sekolah. Hampir semua dari mereka pernah disuruh membersihkan WC, berlari keliling lapangan upacara di siang bolong, pus-ap, skot-jam, berdiri dengan sebelah kaki…. Entah bagaimana asal muasalnya hingga mereka menganggap itu sebagai masalah. Tapi… perlu diketahui, Kawan! Sejak Pak Amran masuklah mereka mendapat perlawanan psikologis dan fisik yang sedemikian. Perlakuan yang sejatinya mereka sadar itu layak diperuntukkan bagi mereka: hukuman. Namun… ah, tak habis air sungai dicedok! Ada-ada saja yang menyumbul sebagai musabab bila dendam sudah bertapa. Ya, hulunya adalah mereka bersepakat: Memalak Pak Amran. Mereka tahu takkan sanggup guru lusuh itu menyambung lidah mereka agar terkabul apa-apa yang menjadi tuntutan yang dibuat-buat itu!
Tiga siswa yang paling bengal diutus untuk menguntil Pak Amran. Ya, hanya utusan. Mereka baru akan memalaknya esok hari, sepulang sekolah. Karena bila kini dipalaknya, tahulah pihak sekolah bahwa merekalah pelakunya karena baru saja Pak Amran menyetrap mereka hari ini.
* * *
SEPEDA unta itu melaju. Tampak sekali si pengendara sangat mahir mengemudikannya. Ketika berhadapan dengan belokan, diliukkannya saja stang tuanya. Ketika beberapa pejalan kaki terlalu ke tengah, santai sekali ia membunyikan tin-tinnya. Walaupun, kadang tersendat-sendat jua ia melewati tanjakan. Ah, tak terhitung berapa banyak buliran air asin yang mengucur dari wajah dan sekujur tubuhnya.
Sejatinya, di hati ketiga siswa dalam sebuah sedan Honda Jazz, yang sedari tadi mengikutinya, terbetik rasa iba pada gurunya itu, tapi masing-masing hanya memendamnya, tiada yang mengutarakannya. Berandal. Julukan itu telah membuat mereka merasa tak layak untuk beriba-iba, termasuk pada seorang seperti Pak Amran. Tentu saja bukan dalam posisi Pak Amran sebagai guru yang disiplin, tapi sebagai guru yang killer: kejam versi mereka. Maka, saat ini, ketiganya memang layak diutus dan disebut seberandal-berandalnya siswa: tak berperasaan! Ada kebanggaan ganjil yang menelusupi jiwa bandit-bandit kencur itu!
Ketiga berandal ingusan itu harus menghentikan mobil. Pak Amran membelokkkan sepedanya ke sebuah gang sempit. Mereka menggerutu sejenak sebelum sigap mengikuti Pak Amran dengan berjalan kaki. Ternyata di balik gang itu, banyak rumah yang bagus-bagus. Dasar penipu! Lagaknya bersepeda unta, tapi… Gerutuan mereka terhenti demi melihat Pak Amran kembali membelokkan sepedanya di gang yang lebih sempit. O o, sebuah rumah megah berdiri di dekat sana. Dua tingkat pula, plus dua mobil kijang keluaran terbaru terparkir di sana.
Mereka pun memasuki gang tersebut dengan sikap badan yang dibiasa-biasakan. Maklum, salah-salah mereka dapat dituduh maling. Apalagi dengan seragam sekolah yang masih di badan. Label elit sekolah mereka, tidak akan cukup membantu. Apalagi sekolah mereka banyak dicibir masyarakat sebagai menara gading di tengah perkumuhan!
Ups! Mereka kehilangan jejak. Tepat beberapa meter di belakang rumah megah di depan gang tersebut mereka berhenti. Mereka celingak-celinguk, mencari tempat untuk duduk demi mengendurkan urat-urat kaki. Dan… benar saja, tak jauh dari situ, di dekat sebuah rumah, o bukan, tepatnya gubuk, seorang ibu di kursi kayu panjang sedang menampi beras. Ibu tersebut tersenyum, memberi kode: memersilahkan mereka duduk di sana.
Dan berehat sejenaklah mereka di sana. Dari gubuk tak jauh dari situ, enam orang anak bertelanjang dada—yang paling tua sekitar 9 tahun—berkeriapan ke dekat si ibu. Mereka bermain-main. Seakan meminta pemakluman, si ibu tersenyum lagi kepada ketiga remaja yang tengah melongo-menonton anak-anaknya: baru kali ini aku melihat tuyul dengan sejelas-jelasnya, Kawan!
Satu dari tiga remaja itu berdehem dua kali, sebelum bertanya pada si ibu perihal guru yang tengah mereka ikuti diam-diam. Belum lagi mereka menyelesaikan kalimat, si ibu langsung mengiyakan.
Guru yang kalian maksudkan pastilah guru yang rumahnya bagus di depan itu, bukan? Demikian pungkas si ibu cepat.
Sigap ketiga anak itu menatap rumah yang lebih layak disebut gedung itu, yang berdiri kokoh sekitar duapuluh meter dari gubuk si ibu.
O, dasar, kau! Guru Penipu! Hardik mereka dalam hati.
Sebenarnya mereka ingin segera berlalu dari sana karena sudah mendapatkan informasi yang mereka cari, namun si ibu tiba-tiba saja bercerita tanpa diminta.
Bapak di rumah-gedung di depan gubuk kami ini, kata orang juga sering KOPURSI. Betul tidak ya, Nak, istilah yang ibu pakai ini. Ibu itu tertawa malu-malu.
Maksudnya, ya sering makan uang yang bukan miliknya, lanjut si ibu.
Ketiga anak itu tersenyum kecil.
Ibu itu melanjutkan. Berbeda dengan kami, Nak. Yang penting halal dan bisa makan saja, sudah cukup.
Memangnya kerja Ibu apa, tanya salah satu dari mereka.
Ibu jual gorengan keliling kampung. Dulu, waktu masih tinggal di Linggau, malam-malam ibu nyambil di rel…
Di rel, kompak mereka bertanya setengah berteriak.
Ibu itu buru-buru menjelaskan: maksud Ibu, jualan tisu, aqua dan makanan kecil di sana sampai lewat tengah malam. Kan makin malam, seleretan rel itu makin ramai.
Oleh lonte dan banci!
O ya, bapaknya anak-anak juga sudah bangun jam dua malam. Biasanya kami shalat tahajud sama-sama. Setelah itu, sementara suami Ibu mengiris kubis, wortel, dan daun bawang untuk bakwan; mengupas pisang dan ubi kayu; hingga menggorengnya sampai siap dijual, Ibu mencuci beberapa keranjang pakaian tetangga, menyetrika yang sudah kering, menyiapkan pakaian tiga anak Ibu yang sudah SD, sebelum menghidangkan sarapan anak-anak dan suami Ibu bakda subuh.
Ketiga anak itu memandang bangunan megah di hadapan mereka dengan tatapan nanar. Betapa tak berperasaannya Bapak Guru kita, Kawan!
O ya, memangnya kerja Bapak apa, Bu?
Belum sempat si ibu menjawab, tiba-tiba dari arah pintu belakang rumah megah di hadapan mereka muncul seorang laki-laki yang sangat mereka kenal. Sigap mereka bersembunyi di balik kursi kayu yang mereka duduki. Si ibu sedikit terkejut dengan tingkah mereka, namun ia membiarkannya saja.
Ah, tak ember Ibu satu ini, batin salah satu dari mereka.
Lelaki berperut gendut itu ternyata hanya memindahkan Avanza-nya yang terparkir di belakang dapur tersebut ke halaman depan.
O, jadi Bapak ini memiliki tiga mobil ya, bisik salah satu remaja itu. Yang lain hanya mengangguk.
Tiba-tiba, mereka saling berpandangan. Cukup lama. Sampai kijang mewah itu enyah dari balik gang.
Jadi, tanya mereka satu sama lain.
Belum lunas keterkejutan mereka, dari balik gubuk itu, muncullah seorang lelaki dengan jaket coklat pias memapah sebuah motor butut.
Demi melihat keterkejutan yang berlapis-lapis dari wajah ketiga anak itu, si ibu bertanya, mengapa ketika kepala sekolah mereka muncul, mereka justru bersembunyi.
Ketiga anak itu masih melongo.
O o, mengertilah si ibu itu kini. Ya, seakan memahami inti keterkejutan ketiga remaja itu, si ibu buru-buru menjelaskan bahwa lelaki yang baru keluar dari gubuknya itu adalah suaminya. Ya, seakan-akan baru tersadar dari kekeliruannya, ia buru-buru meminta maaf dan berkata bahwa ketiga anak itu pastilah mengenal suaminya.
Ah, ibu sudah tua mungkin, sampai lupa kalau suami Ibu juga jadi guru kalian, katanya dengan intonasi malu-malu. Lalu, ia memanggil suaminya: Pak Amran, guru yang akan mereka palak esok hari.
Mereka berdiri sedikit gigil. Mereka ketakutan. Mereka lupa bahwa Pak Amran tak mengetahui rencana buruk mereka. Maka… dengan wajah yang masih tegang, mereka menurut saja ketika Pak Amran mengajak mereka kembali duduk di kursi kayu semula.
Tak lama, terhidanglah sebuah teko aluminium yang kempot di sana-sini—cuma air putih isinya, tiga buah gelas plastik dan beberapa gorengan—tampaknya ini jualanan ibu yang tak laku—yang bersilangan di piring seng.
Ketiga anak itu hampir tak dapat memercayai apa-apa yang sedang mereka alami. Ada pelajaran penting yang mereka dapatkan: seperti inilah cara guru membalas niat buruk muridnya.
Si ibu yang sedari tadi menemani mereka, masuk ke gubuk. Hendak menanak nasi, katanya.
Pak Amran sempat terkejut ketika istrinya tiba-tiba berseru dari gubuknya, meminta maaf karena tadi sudah banyak bercerita tentang pekerjaan mereka sehari-hari. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Secepat kilat air mukanya semringah-raya, ketika ketiga siswanya berhasil berbohong—mungkin demi kebaikan—pada beliau: Kami ke sini memang sengaja untuk bertandang ke rumah Bapak.
Tak lama setelah mempersilakan ketiga muridnya menikmati hidangan seadanya itu, ia permisi sejenak untuk memperbaiki busi motor bututnya. Ketiga anak itu saling berpandangan: mata nanar, ada bulir hangat yang siap menyeruak dari sana. Mereka mengalihkan pandangan. Saling membelakangi dan terhanyut oleh lamunan masing-masing: renungan akan kebaikan guru mereka.
Aku pernah terjatuh dari lantai II sekolah karena berkelahi, siapa yang membawaku ke puskesmas terdekat, sementara kepala sekolah lebih meributkan hitung-hitungan biaya yang akan dikeluarkan pihak sekolah?; Kami pernah terlibat tawuran dengan SMA tetangga, siapa yang menyembunyikan kami di kolong meja, ketika segerombolan lawan menerobos ruang guru?; Aku pernah tabrakan mobil, dompet dan HP raib, wartel jauh dari tempat kejadian, dan… siapa yang berela-rela menyusul orangtuaku?
Begitulah, mereka sibuk dengan penyesalan masing-masing. Penyesalan yang mengerucut pada sebuah nama, nama atas semua pertanyaan retoris.
Pak Amran mendekati mereka sebelum memohon maaf dengan sangat karena tidak dapat menemani mereka lebih lama karena harus ngojek.
Murid-muridnya mengangguk dengan air muka kelabu. Iba lamat-lamat menjalari perasaan mereka. Brandal juga manusia, Kawan!
Kok nggak dibawa aja motornya ke sekolah, Pak? Kan capek pakai sepeda terus?
Pak Amran terdiam, sebelum berujar lirih bahwa itu hanyalah sepeda motor sewaan. 35 ribu per hari.
Oh Tuhan….
* * *
PAGI itu kelas riuh. Pak Amran tak masuk. Apakah ia dipalak?
Tak ada acara palak-palakan itu, Kawan! Segenap kelas sudah insyaf nasuha.
Tapi mengapa Pak Amran tak masuk?
Datanglah kabar itu. Dari lelaki berperut gendut, bermobil tiga—satu di antaranya mobil dinas: kepala sekolah. Ia mengawali pembukaannya dengan intonasi yang dijemawa-jemawakan. Seakan-akan apa-apa yang akan disampaikannya adalah kabar gembira yang sudah sangat ditunggu-tunggu seisi kelas.
Bapak dan pihak yayasan mohon maaf, karena belum bisa memenuhi tuntutan kalian waktu itu. Tapi… akhirnya kami pun mempertimbangkannya dengan saksama, dan… berbahagialah kalian siswa-siswiku tercinta. Kami akhirnya mengabulkan tuntutan itu. Mulai hari ini….
Kata terakhir yang meluncur dari bibir kepala sekolah itu membuat seisi kelas mendadak riuh. Selanjutnya, tiada seorang pun yang memperhatikan kata-kata pemimpin sekolah itu, sebelum… keadaan benar-benar berubah drastis 180 derajat: beku-bisu. Kepala sekolah tiada menggubris tingkah ganjil itu. Ia berlalu saja.
Kini, seisi kelas mematung. Seolah bumi tak bergravitasi. Semua isinya melayang. Berlaku dalam gerak lambat. Sangat lambat. Air mata pun turun dengan sangat estetis: berbulir-bulir. Setiap kedipan mata adalah banjir air garam dalam slow-motion.
Pak Amran sudah berhenti. Dipecat!
Siswa-siswi dari kelas lain, yang tak tahu masalah-seperti apa nian si guru malaikat itu, hanya mencemooh dengan air muka serupa Meriam Belina dalam beberapa peran antagonisnya: Lebaaai!
Kabar yang bukan kabar-kabari yang mereka dapatkan dari beberapa guru yang dekat dengan beberapa siswa adalah, Pak Amran terlalu kritis. Bahkan selalu membawa-bawa segenap siswa yang menjadi tanggungjawabnya sebagai senjata untuk menyerang semua kebijakan sekolah dan yayasan yang terkesan memoroti—orangtua—siswa.
Oooh… bertambahlah sedihnya, Kawan!
Tahu bagaimana rasanya ditinggal mati Ayah-Bunda. Atau bila orangtuamu masih lengkap, tahu rasanya bagaimana ditinggal mati adik-kakak. Atau bila belum jua, tak perlulah dibuat metafor-metafor lagi. Yang jelas, bercampur satu perasaan yang menggelegak di dada: sesal, sedih, pedih, perih, sakiiit karena salah sendiri!
* * *
RUANG kuliah itu masih senyap. Hampir separuhnya menyapu mata. Yang masih bertahan—atau sekadar gengsi dan sok tegar tak mau menangis, berusaha mengalihkan pandangan sekeliling dengan mata kaca. Tak lama, meledak jualah semua. Mereka terenyuh. Seakan-akan merekalah anak-anak yang ditinggal Pak Guru yang tercinta itu. Seakan-akan merekalah ketiga siswa brandal itu….
Kelas sudah berakhir sejak 10 menit yang lalu. Kini, di hadapan mereka hanya kursi, meja dan podium dosen yang membisu. Si tukang cerita yang dipandang seperempat mata di awal kedatangannya itu, tak ada lagi di sana. Ah, mereka tak terlalu mementingkan hal itu. Seakan-akan dikomando mereka bangkit dari bangku. Menuju ke satu arah: biro jurusan, mengalihkan tempat KKN mereka ke sana, ke tempat Pak Amran bertempat tinggal. Ke Muara Beliti!
* * *
SEORANG ibu tua balik bertanya pada beberapa pemuda yang sepertinya baru kali ini menginjakkan kaki di Muara Beliti.
Kami dari Universitas Sriwijaya, jawab mereka.
Si ibu mengerutkan dahinya.
Bukan apa-apa, Nak. Guru yang kalian cari itu adalah suami saya.
Maka, dicium mereka dengan takzimlah tangan si ibu tua itu, tangan istri guru malaikat.
Di mana Pak Amran, Bu, tanya mereka setengah tergesa.
Ibu itu menatap mereka heran sebelum mengatakan bahwa suaminya ke Palembang satu bulan yang lalu.
Mereka melongo. Maksud Ibu, tanya mereka hampir bersamaan.
Ya, Amran Maulana Ibrahim, kan? Ia diundang oleh dekan atau siapa…, Ibu tidak terlalu tahu. Kalau tak salah, katanya untuk pembekalan apa…
Rombongan mahasiswa itu terdiam. Mematung dipaku bumi. Segala rupa benda, manusia, pohon, rumah, dan pernak-pernik peradaban seakan perlahan menjauh dari mereka. Mereka tertegun di tengah gurun. Asing. Tak lama, tanah seakan-akan patah, belah. Muara Beliti-Palembang angslup dalam jarak: semakin jauh, jauh, dan jauh…. hilang dari peta kehidupan. Ah, ini bukan mimpi, Kawan. Kau belum terlalu pandai untuk berhadapan dengan manusia cahaya seperti mereka. Ini hanya cerita tentang guru.
Cerita tentang guru! (*)
BENNY ARNAS lahir di Ulak Surung, kampung di utara Lubuklinggau, Sumatera Selatan, 08 Mei 1983. Meraih dua penghargaan sastra pada 2009: Anugerah Batanghari Sembilan dan Krakatau Award. Ia juga diundang dalam even sastra Ubud Writers & Readers Festival 2010.

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==