Kategori

Benarkah Islam Menganjurkan Nikah Muda

By On Agustus 23, 2016

Medianda – Sahabat media Menikah memang impian semua orang terlebih dengan seseorang yang sudah memang pilihan hatinya sendiri, yang sudah saling menyayangi serta mencintai satu sama lain. Namun terkadang jodoh itu ada yang datang dengan cepat ketika anda masih berusia tergolong sangat muda.




Beberapa waktu yang lalu, publik ramai memperbincangkan pernikahan putra dai kondang Ustadz Arifin Ilham, Alvin, yang masih berusia 17 tahun. Hal tersebut ditanggapi beragam.
Ada yang pro, namun tidak sedikit pula yang kontra. Booming-nya pernikahan Alvin ini seakan menjadi “legitimasi” bagi pihak yang yang setuju akan gagasan nikah muda, bahwa pernikahan di usia muda ialah anjuran agama. Apalagi, Alvin ialah putra seorang ustadz kharismatik.

Prosesi pernikahannya pun dihadiri dai-dai ternama. Oleh sebab itu opini-opini mengenai nikah muda semakin ramai dikampanyekan melalui postingan di sosial media.

Rasulullah menganjurkan kepada pemuda agar menikah ketika “mampu”. Lalu kapankah seseorang dikatakan mampu untuk menikah? Dalam kacamata agama, tidak ada petunjuk atau batasan khusus di usia berapa seseorang harus menikah.

Bila merujuk pada makna hadits Nabi ini, adalah ketika mampu. Artinya agama memberikan kesempatan bagi seseorang untuk “menyesuaikan diri” (mampu dalam berbagai aspek) ketika hendak melangsungkan pernikahan guna kemashlahatan rumah tangganya kelak.

Ada hal-hal menarik yang penulis amati mengenai gagasan menikah muda.

1. memberikan kesan seolah-olah menikah di usia semuda mungkin ialah dorongan agama, dengan dalih menghindari perzinaan/menyalurkan kebutuhan biologis secara sah. Padahal tidak semua yang menunda waktu pernikahan meskipun sudah mampu itu pasti akan terjerumus pada jurang perzinaan.

Menunda waktu pernikahan bukan berarti melegalkan apalagi mendukung praktik pacaran. Jika kita mempertimbangkan argumentasi ilmiah, secara biologis organ reproduksi wanita yang terlalu muda belum siap untuk mengandung janin.

Yang dampaknya akan berbahaya bagi keselamatan sang ibu juga janin yang dikandungnya. Padahal, agama jelas-jelas melarang kita untuk menzalimi diri sendiri.

Mungkin kita sering mendengar pada masa kakek nenek kita dahulu yakni kebiasaan menikah di usia muda. Bahkan tradisi ini konon masih berlanjut di daerah-daerah pelosok. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang masih rendah ditambah sulitnya mengakses informasi mengenai permasalahan kesehatan terutama seputar organ reproduksi. Lantas, apakah kita yang hidup di zaman majunya ilmu pengetahuan akan kembali “mundur”?

2. Untuk menikah, jangan menunggu mapan, agar bisa mapan bersama-sama. Argumen tersebut hemat penulis patut dikritisi. Pada titik ini, kita harus pandai menentukan sikap.

Pernikahan adalah merupakan ibadah yang mulia. Ibadah (nikah) yang didasari dengan ilmu akan berbeda kualitasnya dengan ibadah yang gegabah. Mungkinkah sepasang muda-mudi yang belum mapan membangun rumah tangga?

Akankah kebutuhan rumah tangga juga ikut dibebankan kepada orang tua? Berapa banyak kasus perceraian, tindakan kriminal, bahkan kasus bunuh diri yang faktor utamanya ialah desakan ekonomi?

Alih-alih ingin mendidik keluarga hidup mandiri, bila tidak dibarengi dengan iman dan ilmu yang memadai, menikah sebelum mapan dapat menjadi boomerang bagi rumah tangga kita sendiri. Maka memapankan diri ialah upaya kita menghindari mudarat-mudarat yang akan terjadi kemudian.

3. Anggapan bahwa mencari ilmu dan juga maisyah akan lebih giat setelah menikah, sepertinya opini tersebut bertolak belakang dengan konstruksi sosial budaya kita.

Ada kaidah sebagian santri yang berbunyi quthi‘al ilmu bi fakhidzaihâ(terputusnya ilmu akibat paha yang dua) maknanya semangat mencari ilmu akan mengendur bila sudah memikirikan wanita (apalagi dibebani kebutuhan akan mencari penghidupan).

Adapula pepatah yang mengatakan “didiklah anakmu 100 tahun sebelum lahir”. Maknanya mempersiapkan generasi yang unggul harus dimulai dari orang tuanya terlebih dahulu. Sebab terdapat perbedaan orientasi antara yang belum dengan sudah menikah, maka persiapan ilmu ialah merupakan hal penting untuk mewujudkan Al-ahlimadrasatul ula (keluarga adalah lembaga pendidikan pertama)

Atau berbagai alasan lainnya yang cenderung imajinatif dengan bermodalkan testimoni pengalaman sebagian pihak yang sukses menikah di usia muda namun menutup mata dari berbagai kosekuensi negatifnya.

Mengapa akun-akun berlabel “islami” tersebut cenderung aktif mengajak anak muda menikah, dibanding memberikan pemahaman atau pembekalan yang konkret bagi para anak muda sebelum menikah?

Bila hal ini tidak diimbangi dengan pemahaman yang baik, kampanye atau ajakan untuk menikah muda yang kerap disuarakan di media sosial dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan rumah tangga itu sendiri.

Dalam perspektif komunikasi massa, secara teoritis media sosial (massa) mempunyai fungsi sebagai saluran, informasi, hiburan, dan pendidikan. Namun fenomena saat ini menunjukkan media massa mempunyai peran yang efektif di luar fungsinya itu.

Efek media massa bukan saja mempengaruhi sikap seseorang, tetapi juga dapat mempengaruhi perilaku. Bahkan pada tataran yang lebih jauh, efek media massa dapat mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem budaya masyarakat.

Prosesi pernikahan Alvin kemarin, tidak bisa serta merta dijadikan tolok ukur untuk seseorang menikah di usia 17 tahun (apalagi kurang dari itu).

Ada jutaan pemuda yang seusia dengan Alvin saat memaksakan menikah justru akan menjadi madlarat. Pernikahan bukan ibadah coba-coba. Oleh sebab itu, persiapan mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah tidak cukup hanya dengan meniru-niru atau terbawa postingan dari akun-akun di media sosial.

Agaknya, ndereskitab Uqudul Lujjain atau Qurratul ‘Uyun lebih syar’i dan lebih bermanfaat daripada sekadar melihat meme seputar ajakan menikah muda.

Jika meminjam qaidah usul fiqh “dar-ul mafasid muqaddamun min jalbil mashalih (menghindari kerusakan lebih prioritas ketimbang menarik kemanfaatan)” maka mempersiapkan dengan matang apa yang akan menjadi bekal rumah tangganya kelak, lebih utama daripada beranda-andai akan bahagia ketika sudah berumah tangga. Sebab, keberlangsungan dan masa depan rumah tangga kita, kita sendirilah yang akan menentukannya.

Nah sahabat itulah penjelasan mengenai benarkah agama menganjurkan untuk menikah muda.Kesimpulannya,  apakah benar menikah muda adalah dorongan agama? Atau hanya opini sebagian pihak yang dikontruksi melalui media sosial? Semoga kita semakin arif dan bijak dalam menyikapi dunia maya tanpa mengenyampingkan kehidupan nyata. Semoga bermanfaat.




Sumber:nu.or.id



Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==